Sabtu, 02 Februari 2019

GARAM DAN TELAGA



Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tidak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segemgam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkan garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya ..”, ujar Pak tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah ke samping.
Pak tua itu sedikit tersenyum. Lalu ia mengajak tamu itu, lalu berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga itu.



Pak tua itu lalu kembali menaburkan segemgam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusi ketenangan telaga itu. “Coba ambil air di telaga itu, dan minumlah. Saat tamu itu selesai meneguk air itu, Pak tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.

“Segar.”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya pak tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, pak tua itu menepuk nepuk punggung si anak muda. Lalu ia mengajaknya dengan duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahit kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

“Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak tua itu lalu kembali memberi nasihat. “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama sama belajar hari itu. Dan pak tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar